Tari Tor Tor

1 komentar

 http://img.antaranews.com/new/2012/06/ori/2012061834.jpg
 Tortor Batak kini menyedot perhatian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Batak. Berbagai komentar di situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter sangat ramai dan menunjukkan kegeraman yang ditujukan ke negeri jiran Malaysia.

Hal ini berawal dari berita di Bernama.com yang mengatakan bahwa  Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia, Datuk Seri Dr Rais Yatim Tari akan mendaftarkan tarian tortor dan gordang sembilan dalam warisan budaya nasional Malaysia. Kedua kesenian itu akan didaftarkan dalam Seksyen 67 sebagai Akta Warisan Kebangsaan 2005. Rais menyampaikan rencana itu saat gathering masyarakat Mandailing di  Malaysia.

Pernyataan Rais itu langsung memicu reaksi keras masyarakat Indonesia apalagi selama ini Malaysia sudah banyak mengklaim warisan budaya Indonesia sebagai miliknya. Mampukah Malaysia mengklaim tortor ini yang jelas-jelasnya milik suku Batak dan  tidak mudah  melakonkannya?

Untuk lebih memahami tortor  dan segala aspek  yang berhubungan dengannya,  mari kita simak sekilas sejarah tortor berikut.

Menurut sejarah, awalnya tari tortor dilakukan saat acara ritual yang berhubungan dengan roh. Roh tersebut dipanggil dan “masuk” ke patung-patung batu (merupakan simbol dari leluhur), lalu patung tersebut bergerak seperti menari. Banyak jenis tortor yang digunakan etnis batak dalam setiap acara yang dilakukan.  Ada yang dinamakan tortor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar  dimana terlebih dahulu tempat dan lokasi pesta dibersihkan sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut. Ada juga tortor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja. Tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi disebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung). Kemudian ada tortor Tunggal Panaluan yang biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah, maka tunggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk mengatasi musibah tersebut. Ada lagi tortor sigale-gale yang dilakonkan sebuah patung kayu yang menggambarkan rasa cinta seorang raja terhadap anak tunggalnya yang meninggal akibat serangan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.

Dalam manortor (menari) secara umum menggambarkan permohonan kepada roh-roh leluhur agar diberi keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah. Saat manortor banyak pantangan yang tidak diperbolehkan, seperti tangan sipenari tidak boleh melewati batas setinggi bahu keatas, bila itu dilakukan berarti sipenari sudah siap menantang siapapun dalam bidang ilmu perdukunan, atau adu pencak silat, atau adu tenaga batin dan lain lain.   

Didalam manortor (menari) orang Batak selalu menggunakan Ulos dan alat musik ( gondang ) yang terdiri dari ogung sabangunan yang terdiri dari 4 ogung. Kalau kurang dari empat maka dianggap tidak lengkap. Akan lebih lengkap lagi kalau ditambah dengan alat kelima yang dinamakan Hesek. Kemudian Tagading  yang terdiri dari 5 buah, dan Sarune (sarunai harus memiliki 5 lobang diatas dan satu dibawah).
Tortor biasanya didahului dengan Gondang Mula-mula, Gondang Somba, Gondang Mangaliat, Gondang Simonang-monang, Gondang Sibungajambu, Gondang Marhusip, dan seterusnya yang  diakhiri dengan Gondang Hasahatan Sitio-tio.

Secara garis besar, terdapat empat gerakan dalam tortor. Pertama adalah Pangurdot, gerakan yang dilakukan kaki, tumit sampai bahu. Kedua adalah Pangeal, merupakan gerakan yang dilakukan pinggang, tulang punggung sampai bahu/sasap. Ketiga adalah Pandenggal, yakni gerakan tangan, telapak tangan dan jari-jarinya. Gerakan keempat adalah Siangkupna yakni menggerakan bagian leher.

Dalam acara tortor biasanya harus ada orang yang menjadi pemimpin kelompok tortor dan pengatur acara (peminta gondang) yang berkemampuan untuk memahami urutan gondang dan jalinan kata-kata serta umpasa dalam meminta gondang.
Saat ini  makna dan tujuan tortor semakin berkembang. Tortor sudah tidak lagi diasumsikan lekat dengan dunia roh. Tortor menjadi sebuah budaya dan seni yang sudah dikenal masyarakat dunia sebagai budaya tanah air.  Tortor yang dilakukan saat ini mencakup pesta adat perkawinan, pesta peresmian rumah parsattian, pesta tugu, pesta membentuk huta/perkampungan, bahkan kalangan pemuda menggelar "pesta naposo"sebagai ajang hiburan dan perkenalan (mencari jodoh). Pesta Naposo, di beberapa daerah disebut juga pesta rondang bulan (Samosir), pesta rondang bintang (Simalungun).

Dalam rangka rangka pelestarian seni budaya, tortor sudah sering diperlombakan dalam bentuk festival tortor. Bahkan dalam setiap acara perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, berbagai kecamatan di wilayah Silindung, Humbang I, Humbang II,  Toba dan  Samosir menggelar  Festival Tortor Tingkat Kabupaten, dan selanjutnya juara-juara menjadi peserta pada Festival tortor di tingkat Propinsi.

Tarian budaya suku Batak ini sudah seringkali muncul di televisi sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Hampir setiap turis asing yang telah mengunjungi Sumatera Utara, telah mengenal tortor dan mereka sering ikut manortor. Apalagi jika ada acara-acara resmi yang dilakukan pemerintah untuk menyambut para wisatawan asing, tortor digunakan sebagai hiburan dalam menyambut mereka.

Perkembangan selanjutnya hingga memasuki abad modern, masyarakat Batak membawa seni budaya ini ke tanah perantauan di luar Tapanuli  hingga ke luar negeri yang memberi hiburan ke masyarakat dunia dan menjadi simbol etnis Batak.

Bagaimanapun juga, tortor Batak adalah identitas seni budaya Indonesia yang harus dilestarikan dan tidak lenyap oleh perkembangan zaman dan peradaban manusia. Dalam tortor Batak terdapat nilai-nilai etika, moral dan budi pekerti yang perlu ditanamkan kepada generasi muda. HORAS..

Tari Merak

1 komentar

http://e-indonesiana.cs.ui.ac.id/echnh-ng/media/object/tari_merak_jawa_barat.jpg
Tari Merak, sebuah tari yang mengisahkan kehidupan burung merak yang serba indah dan memukau.

Sejarah Tari Merak

Sejarah Tari Merak Jawa Barat – Sejarah Tari Merak sebenarnya berasal dari bumi Pasundan ketika pada tahun 1950an seorang kareografer bernama Raden Tjetjep Somantri menciptakan gerakan Tari Merak.

Sesuai dengan namanya Sejarah Tari Merak Jawa Barat merupakan implentasi dari kehidupan burung Merak. Utamanya tingkah merak jantan ketika ingin memikat merak betina.

Gerakan merak jantan yang memamerkan keindahan bulu ekornya ketika ingin menarik perhatian merak betina tergambar jelas dalam Tari Merak.

Kostum yang dipakai oleh penari dalam menampilkan Sejarah Tari Merak Jawa Barat. Warna kostum yang dipakai oleh para penari biasanya sesuai dengan corak bulu burung merak.

Selain itu, kostum penari juga dilengkapi dengan sepasang sayap yang mengimpletasikan bentuk dari bulu merak jantan yang sedang dikembangkan.

Dalam Sejarah Tari Merak Jawa Barat telah mengalami perubahan dari gerakan yang diciptakan oleh Raden Tjetjep Somantri dengan adanya perubahan kareografi yang dibuat oleh Dra. Irawati Durban Arjon.

Sejarah Tari Merak tidak hanya sampai disitu karena pada tahun 1985 gerakan Tari Merak kembali direvisi.

Dalam pertunjukannya Sejarah Tari Merak Jawa Barat biasanya ditampilkan secara berpasangan dengan masing – masing penari memerankan sebagai merak jantan atau betina.

Dengan iringan lagu gending Macan Ucul para penari mulai menggerakan tubuhnya dengan gemulai layaknya gerakan merak jantan yang sedang tebar pesona.

Gerakan merak yang anggun dan mempesona tergambar dari gerakan Tari Merak yang penuh keceriaan dan keanggunan.

Sehingga tak heran jika Tari Merak sering digunakan untuk menyambut pengantin pria atau sebagai hiburan untuk tamu dalam acara pernikahan.

Selain itu Tari Merak juga banyak ditampilkan dalam event – event baik yang bertaraf nasional dan internasioan karen akeindahan gerakan Tari Merak .

Tari Serimpi

0 komentar

Tari Serimpi, sebuah tarian keraton pada masa silam dengan suasana lembut, agung dan menawan.
Tarian Serimpi adalah suatu jenis tarian yang diperagakan 4 putri ini masing-masing mendapat sebutan : air, api, angin dan bumi

/tanah, yang selain melambangkan terjadinya manusia juga melambangkan empat penjuru mata angin. Sedang nama peranannya Batak, Gulu, Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang Pendopo.


Suatu jenis tari klasik Keraton yang selalu ditarikan oleh 4 penari, karena kata srimpi adalah sinonim bilangan 4. Menurut Dr. Priyono nama serimpi dikaitkan ke akar kata “impi” atau mimpi. Menyaksikan tarian lemah gemulai sepanjang ¾ hingga 1 jam itu sepertinya orang dibawa ke alam lain, alam mimpi.
Konon, kemunculan tari Serimpi berawal dari masa kejayaan Kerajaan Mataram saat Sultan Agung memerintah antara 1613-1646. Tarian ini dianggap sakral karena hanya dipentaskan dalam lingkungan keraton untuk ritual kenegaraan sampai peringatan naik takhta sultan.
Pada 1775 Kerajaan Mataram pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta. Perpecahan ini juga berimbas pada tarian Serimpi walaupun inti dari tarian masih sama. Tarian Serimpi di Kesultanan Yogyakarta digolongkan menjadi Serimpi Babul Layar, Serimpi Dhempel, Serimpi Genjung. Sedangkan di Kesultanan Surakarta digolongkan menjadi Serimpi Anglir Mendung dan Serimpi Bondan. Walaupun sudah tercipta sejak lama, tarian ini baru dikenal khalayak banyak sejak 1970-an. Karena sebelumnya terkekang oleh tembok keraton.
Menurut Kanjeng Brongtodiningrat, komposisi penari Serimpi melambangkan empat mata angin atau empat unsur dari dunia, yaitu : (1) Grama (api), (2) Angin (udara), (3) Toya (air), (4) Bumi (tanah). Sebagai tari klasik istana di samping bedhaya, tari Serimpi hidup di lingkungan istana Yogyakarta. Serimpi merupakan seni yang adhiluhung serta dianggap pusaka Kraton. Tema yang ditampilkan pada tari Serimpi sebenarnya sama dengan tema pada tari Bedhaya Sanga, yaitu menggambarkan pertikaian antara dua hal yang bertentangan antara baik dan buruk, antara benar dan salah, antara akal manusia dan nafsu manusia.
Tema perang dalam tari Serimpi,menurut RM Wisnu Wardhana, merupakan falsafah hidup ketimuran. Peperangan dalam tari Serimpi merupakan simbolik pertarungan yang tak kunjung habis antara kebaikan dan kejahatan. Bahkan tari Serimpi dalam mengekspresikan gerakan tari perang lebih terlihat jelas karena dilakukan dengan gerakan yang sama dari dua pasang prajurit melawan prajurit yang lain dengan dibantu properti tari berupa senjata. Senjata atau properti tari dalam tari putri antara lain berupa : keris kecil atau cundrik, jebeng, tombak pendek, jemparing dan pistol.
Pakaian tari Serimpi mengalami perkembangan. Jika semula seperti pakaian temanten putri Kraton gaya Yogyakarta, dengan dodotan dan gelung bokornya sebagai motif hiasan kepala, maka kemudian beralih ke “kain seredan”, berbaju tanpa lengan, dengan hiasan kepala khusus yang berjumbai bulu burung kasuari, gelung berhiaskan bunga ceplok dan jebehan. Karakteristik pada penari Serimpi dikenakannya keris yang diselipkan di depan silang ke kiri. Penggunaan keris pada tari Serimpi adalah karena dipergunakan pada adegan perang, yang merupakan motif karakteristik Tari Serimpi.
Disamping keris digunakan pula “jembeng” ialah sebangsa perisak. Bahkan pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwana VII dijumpai pula tari Serimpi dengan alat perang pistol yang ditembakkan kearah bawah, pada akhir abad ke-19. Pola iringan tari Serimpi adalah gendhing “sabrangan” untuk perjalanan keluar dan masuknya penari dibarengi bunyi musik tiup dan genderang dengan pukulan irama khusus. Pada bagian tarinya mempergunakan gendhing-gendhing tengahan atau gendhing ageng yang berkelanjutan irama ketuk 4, kemudian masuk ke gendhing ladrang kemudian ayak-ayak beserta srebegannya khusus untuk iringan perang.
Tari Serimpi Sangopati(karya : Sinuhun Pakubuwono IX)
Tarian Srimpi Sangopati karya Pakubuwono IX ini, sebenarnya merupakan tarian karya Pakubuwono IV yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1788-1820 dengan nama Serimpi sangopati. Kata sangapati itu sendiri berasal dari kata “sang apati” sebuah sebutan bagi calon pengganti raja.
Ketika Pakubuwono IX memerintah kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1861-1893, beliau berkenaan merubah nama Sangapati menjadi Sangupati.
Hal ini dilakukan berkaitan dengan suatu peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan beliau yaitu pemerintah Kolonial Belanda memaksa kepada Pakubuwono IX agar mau menyerahkan tanah pesisir pulau Jawa kepada Belanda. Disaat pertemuan perundingan masalah tersebut Pakubuwono IX menjamu para tamu Belanda dengan pertunjukan tarian Serimpi Sangopati.
Sesungguhnya sajian tarian Serimpi tersebut tidak hanya dijadikan sebagai sebuah hiburan semata, akan tetapi sesungguhnya sajian tersebut dimaksudkan sebagai bekal bagi kematian Belanda, karena kata sangopati itu berarti bekal untuk mati. Oleh sebab itu pistol-pistol yang dipakai untuk menari sesungguhnya diisi dengan peluru yang sebenarnya. Ini dimaksudkan apabila kegagalan, maka para penaripun telah siap mengorbankan jiwanya.
Maka ini tampak jelas dalam pemakaian “sampir” warna putih yang berarti kesucian dan ketulusan.Pakubuwono IX terkenal sebagai raja amat berani dalam menentang pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa wilayah Indonesia ketika itu.
Sebetulnya sikap berani menentang Belanda dilandaskan atas peristiwa yang menyebabkan kematian ayahnya yaitu Pakubuwono VI (pahlawan nasional Indonesia) yang meninggal akibat hukuman mati ditembak Belanda saat menjalani hukuman dibuang keluar pulau Jawa saat Pakubuwono VI meninggal Pakubuwono IX yang seharusnya menggantikan menjadi raja saat itu masih berada didalam kandungan ibunda prameswari GKR Ageng disebabkan masih dalam kandungan usia 3 bulan.
Maka setelah Pakubuwono ke VI meninggal yang menjadi raja Pakubuwono VII adalah paman Pakubuwono IX ketika Pakubuwono VII meninggal yang menggantikan kedudukan sebagai raja adalah paman Pakubuwono IX sebagai Pakubuwono VII. Baru setelah Pakubuwono VIII meninggal Pakubuwono menuruskan IX meneruskan tahta kerajaan ayahandanya Pakubuwono VI sebagai raja yang ketika itu beliau berusia 31 tahun.
Setelah Pakubuwono IX meninggal 1893 dalam usia 64 tahun beliau digantikan putranya Pakubuwono X atas kehendak Pakubuwono X inilah tarian Srimpi Sangupati yang telah diganti nama oleh ayahanda Pakubuwono IX menjadi srimpi Sangapati , dengan maksud agar semua perbuatan maupun tingkah laku manusia hendaknya selalu ditunjukkan untuk menciptakan dan memelihara keselamatan maupun kesejahteraan bagi kehidupan. Hal ini nampak tercermin dalam makna simbolis dari tarian srimpi sangopati yang sesungguhnya menggambarkan dengan jalan mengalahkan hawa nafsu yang selalu menyertai manusia dan berusaha untuk saling menang menguasai manusia itu sendiri.
Salah satu kekayaan Keraton kasunanan Surakarta ini tengah diupayakan konservasinya adalah berbagai jenis tarian yang sering menghiasi dan menjadi hiburan pada berbagai acara yang digelar di lingkungan keraton. Dari berbagai jenis tarian tersebut yang terkenal sampai saat ini adalah tari Serimpi Sangupati. Penamaan Sangupati sendiri ternyata merupakan salah satu bentuk siasat dalam mengalahkan musuh.
Tarian ini sengaja di tarikan sebagai salah satu bentuk politik untuk menggagalkan perjanjian yang akan diadakan dengan pihak Belanda pada masa itu. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar pihak keraton tidak perlu melepaskan daerah pesisir pantai utara dan beberapa hutan jati yang ada, jika perjanjian dimaksudkan bisa digagalkan.
Tarian Serimpi Sangaupati sendiri merupakan tarian yang dilakukan 4 penari wanita dan di tengah-tengah tariannya dengan keempat penari tersebut dengan keahliannya kemudian memberikan minuman keras kepada pihak Belanda dengan memakai gelek inuman.
Ternyata taktik yang dipakai sangat efektif, setidaknya bisa mengakibatkan pihak Belanda tidak menyadari kalau dirinya dikelabui. Karena terlanjur terbuai dengan keindahan tarian ditambah lagi dengan semakin banyaknya minuman atau arak yang ditegak maka mereka (Belanda) kemudian mabuk. Buntutnya, perjanjian yang sedianya akan diadakan akhirnya berhasil digagalkan. Dengan gagalnya perjanjian tersebut maka beberapa daerah yang disebutkan diatas dapat diselamatkan.
Namun demikian yang perlu digarisbawahi dalam tarian ini adalah keberanian para prajurit puteri tersebut yang dalam hal ini diwakili oleh penari serimpi itu. Karena jika siasat itu tercium oleh Belanda, maka yang akan menjadi tumbal pertama adalah mereka para penari tersebut.
Boleh dibilang mereka adalah prajurit di barisan depan yang menjadi penentu berhasil dan tidaknya misi menggagalkan perjanjian tersebut. Sehingga untuk mengaburkan misi sebenarnya yang ada dalam tarian tersebut maka nama tari itu disebut dengan Serimpi Sangaupati yang diartikan sebagai sangu pati.
Saat ini Serimpi Sangaupati masih sering ditarikan, namun hanya berfungsi sebagai sebuah tarian hiburan saja. Dan adegan minum arak yang ada dalam tari tersebut masih ada namun hanya dilakukan secara simbol saja, tidak dengan arak yang sesungguhnya.
Perjanjian antara Keraton Kasunanan Surakarta dengan pihak Belanda tersebut yang terjadi sekitar tahun 1870-an.

Tari Jaipong

1 komentar



Tari Jaipong
Jaipongan adalah seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Ia terinspirasi pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan atau Bajidoran atau Ketuk Tilu. Sehingga ia dapat mengembangkan tarian atau kesenian yang kini di kenal dengan nama Jaipongan.


Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari “Daun Pulus Keser Bojong” dan “Rendeng Bojong” yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Awal kemunculan tarian tersebut semula dianggap sebagai gerakan yang erotis dan vulgar, namun semakin lama tari ini semakin popular dan mulai meningkat frekuensi pertunjukkannya baik di media televisi, hajatan, maupun perayaan-perayaan yang disenggelarakan oleh pemerintah atau oleh pihak swasta.

Dari tari Jaipong ini mulai lahir beberapa penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kirniadi. Kehadiran tari Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para pencinta seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang di perhatikan. Dengan munculnya tari Jaipongan ini mulai banyak yang membuat kursus-kursus tari Jaipongan, dan banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk pemikat tamu undangan.


Di Subang Jaipongan gaya “Kaleran” memiliki ciri khas yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan. Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang.

Tari Jaipong
Tari Jaipongan pada saat ini bisa disebut sebagai salah satu tarian khas Jawa Barat, terlihat pada acara-acara penting kedatangan tamu-tamu dari Negara asing yang datang ke Jawa Barat, selalu di sambut dengan pertunjukkan tari Jaipongan. Tari Jaipongan ini banyak mempengaruhi pada kesenian-kesenian lainnya yang ada di Jawa Barat, baik pada seni pertunjukkan wayang, degung, genjring dan lainnya yang bahkan telah dikolaborasikan dengan Dangdut Modern oleh Mr. Nur dan Leni hingga menjadi kesenian Pong-Dut.

Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.